Oleh:
Rury Febrianto, S.E, M.
Direktur PBMT Ventura
Dalam kehidupan sehari hari, kita sering menemukan kondisi bahwa kebutuhan kita untuk melakukan pembelian Kredit kendaraan ataupun barang lainnya dipromosikan kepada kita dengan harga yang berbeda beda. Jika kita kredit 12 bulan maka harganya Rp 5,000,000, jika kita 18 bulan harganya menjadi Rp 8.000.000, jika 24 bulan maka menjadi Rp 10,000,000, tentu saja kita sebagai konsumen yang sedang bersihin diri dari riba akan bertanya tanya, ini haram apa nggak ya, disatu sisi butuh motor, disisi lain takut haram.
Ada baiknya kita coba untuk menggali berbagai sumber kajian terhadap perihal ini, sehingga semoga bisa menjawab keraguan pada diri kita.
Para ulama menyebut praktek Jual Beli Kredit dengan istilah bai’ut taqsith dengan tambahan harga. Menurut pendapat yang kuat hukumnya adalah boleh, syarat yang harus dipenuhi adalah: bahwa harga, jumlah angsuran serta besaran tiap angsuran harus ditentukan sebelum berpisah; dan barang harus ada pada saat akad hak ini dijelaskan pada kitab Ziyad Ghozal, Masyru’ Qonunil buyu’ fid Daultil Islamiyah (‘Aman: Darul Wadhoh, 2010), hal. 135.
Dalilnya adalah keumuman hukum jual-beli. Allah berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli” (QS Al Baqarah 275)
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah memakan harta sesama kalian secara batil kecuali dengan perniagaan atas dasar kerelaan di antara kalian” (QS An Nisa’ 29).
Atas dasar diatas, maka jika semua pihak rela dengan salah satu tawaran, maka itu merupakan jual-beli yang dibolehkan syara’ karena hukum asal jual-beli adalah boleh. Asy Syafi’i mengatakan, “Pada prinsipnya semua jenis jual-beli itu boleh asalkan dengan kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi, kecuali jual-beli yang dilarang oleh rasululllah saw”
Perbedaan pendapat tentang Perbedaan Harga
Memang terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah membolehkan praktek tersebut, sedangkan sebagian Zaidiyah dan Dhohiriyah mengharamkannya hal ini dijelaskan dalam kitab Asy-Syaukani, Nailul Author (Kairo: Darul Hadits, 2005 ). Ulama kontemporer yang membolehkannya antara lain An-Nabhani, al-Qardhawi, Ali Salus, Wahbah Az-Zuhaili, dan Ibnu ‘Utsaimin, Sementara Abu Zahroh, Al Albani, dan Muqbil mengharamkannya.
Argumentasi Mereka yang mengharamkan perbedaan dua harga adalah berpegang pada hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa melakukan dua jual-beli dalam satu jual-beli maka harus memilih (harga) yang terendah jika tidak maka riba” (HR Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)
Kelompok ini menafsirkan “dua jual-beli dalam satu jual-beli” sesuai perkataan salah satu perawi, “seseorang berkata: jika tunai harganya sekian namun jika dengan tempo maka harganya sekian”. Jadi, yang dimaksud dua jual-beli menurut kelompok ini adalah menawarkan dua harga untuk satu barang karena sistem pembayaran yang berbeda, kontan dan kredit.
Sedangkan argumentasi yang menghalalkan transaksi ini adalah bahwa hampir semua ulama sepakat apabila penjual berkata, “jika kau bayar tunai maka 10 dirham tapi jika dicicil maka 15 dirham” kemudian kedua pihak sepakat dan berpisah tanpa menjatuhkan pilihan pada salah satu opsi, maka tidak sah. Alasannya menurut Asy-Syaukani karena, “tidak adanya kejelasan harga”, yakni apakah 10 atau 15 dirham. Maka, mayoritas ulama membolehkan dua bentuk penawaran dengan dua harga yang berbeda asalkan penjual dan pembeli menjatuhkan akad pada salah satu tawaran sebelum berpisah.
Al-Khothobi berkomentar: “praktek ini tidak boleh karena tidak diketahui mana harga yang dijatuhi akad, padahal apabila harganya tidak diketahui batal-lah jual-belinya”. Beliau melanjutkan: “adapun jika dipilih salah satu dari kedua pilihan tersebut saat transaksi, maka sah”. Thowus berkata: “tidak mengapa jika dikatakan: “baju ini harganya 10 tunai, jika ditunda selama satu bulan maka 15””. Al-Auza’i berkata: “itu tidak apa-apa namun dilarang berpisah sebelum menyepakati salah satu dari dua opsi tersebut”
Ibnul Qoyim berkomentar: “itu sangat tidak sesuai dengan makna hadits, ditinjau dari dua segi: pertama, sesungguhnya akad ini bukan riba; kedua, penawaran tersebut bukanlah dua jual-beli, akan tetapi hanya satu jual-beli dengan satu harga. (Padahal dalam hadits) Pilihannya hanya berkisar pada dua hal: mengambil harga termurah atau riba. Sementara, dalam akad tersebut, sekalipun diambil harga yang lebih mahal, tidaklah terjadi riba, sehingga praktek ini tidak relevan dengan makna hadits” Tahdzib Sunan Abi Dawud, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2008), Hal. 1706
At-Tirmidzi menyatakan, “Sebagian ulama berpendapat dua jual-beli dalam satu jual-beli terjadi pada perkataan: “aku jual baju ini 10 dirham secara kontan dan 20 secara kredit” lalu berpisah tanpa memilih satu dari keduanya. Adapun jika berpisah dengan memilih satu dari dua pilihan tersebut maka tidak mengapa, yang penting akadnya jatuh pada salah satunya”
Penafsiran hadits yang lebih tepat
Para ulama menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas dengan berbagai bentuk. Yang paling cocok dengan hadits ini adalah penafsiran Thowus,: “barang itu seharga sekian dan sekian jika temponya sampai sekian dan sekian; dan harganya menjadi sekian dan sekian jika dibayar tempo sampai waktu sekian dan sekian, kemudian transaksi jadi dengan ketentuan itu, maka yang berlaku adalah harga termurah dengan tempo paling lama”. Artinya, tidak boleh mengakadkan jual-beli kredit dengan lebih dari satu opsi tempo dan harga tanpa kejelasan opsi harga dan tempo mana yang disepakati saat akad. Inilah yang dimaksud dua jual beli dalam satu jual-beli dalam konteks hadits ini. Jika praktek itu terlanjur terjadi maka yang berlaku adalah tawaran harga terendah, jika tidak maka riba. Dan Thowus menambahkan bahwa yang berlaku adalah tempo terlama.
Demikianlah, hadits dari Abu Hurairah tersebut tidak menyinggung jual-beli kredit dengan panambahan harga, sebab tawaran kontan dan kredit itu belumlah merupakan jual-beli, sehingga apabila disepakati salah satu opsi pada saat akad maka ia tidak terkena larangan dalam hadits tersebut.Wallahu a’lam (Disarikan dari tulisan Titok Priastomo)